Emansipasi dan Kodrat Wanita


Emansipasi adalah hal yang tidak bisa lepas dari sosok R.A. Kartini. Kartini kecil hanya diperbolehkan mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar. Ia sangat suka dengan pengetahuan, sehingga ia terus membaca dan menulis bersama teman perempuannya. Selain itu ia juga belajar bahasa Balanda. Dari bacaan-bacaan yang diperoleh terlintaslah dipikiran Kartini muda untuk memajukan wanita-wanita Indonesia. Ia pun menulis surat untuk teman di Belanda.
Kartini muda yang dibesarkan dari seorang priayi Jepara merasa bertanggungjawab atas nasib kaum wanita pada saat itu. Dimana pada saat itu wanita dipandang hanya sebelah mata. Dipandang bahwa derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Mereka dibelenggu untuk tidak diperbolehkan mengeyam pendidikan, berpendapat, berorganisasi dan bekerja. Para wanita hanya diperbolehkan untuk 3M (masak, macak dan manak). Hal yang sangat bertentangan dengan kecintaan Kartini pada pengetahuan itu membuat Kartini geram, sehingga ia mendirikan sekolah untuk gadis-gadis Jepara disekitarnya.
Perjuangannya pun tidak sampai disitu, ketika ia menjadi istri Raden Adipati Ario Sosroningrat, M.A Ngasirah ia mendirikan sekolah di Semarang pada tahun 1912, kemudian belanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Setelah meninggalnya beliau, muncullah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang merupakan pembukuan dari surat-menyurat antara Mr. J.H Abendanon dan Ra. Kartini. Isi buku tersebut mengilhami para pembaca bahwa saat itu mereka tengah dibelenggu dalam kebodohan, atas keberanian dan perjuangan yang tulus menggugah kaumnya untuk keluar dari belenggu diskriminasi.
Hasil perjuanganngan Kartini sangat terasa pada saat ini. Dibuktikan dengan di segala lini pekerjaan terlihat wanita yang ikut bekerja. Baik sebagai faktor pendorong maupun ikut terjun langsung. Lihat saja berapa wanita Indonesia saat ini yang bekerja atau berkegiatan seperti laki-laki. Contohnya saja ada yang menjadi sopir, kuli, pemain futsal, pekerja kantoran, militer dan lain-lain. Sebagian dari mereka melakukan pekerjaan tersebut karena tuntutan ekonomi yang mengharuskan mereka mencari rizki dengan jalan seperti itu. Tapi ada pula yang menganggap itu sebagai bentuk kebebasan untuk menyamai derajat laki-laki.
Dalam kehidupan sehari-hari sering terlihat bahwa ketika seorang wanita yang memiliki kedudukan lebih tinggi cenderung meremehkan laki-laki. Mereka menganggap bahwa mereka bisa hidup tanpa laki-laki. Mereka tidak mau menuruti kehendak laki-laki yang mereka anggap sebagai bentuk pengekangan. Mereka lupa akan kodratnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ketika mereka berkeluarga, cenderung lebih cepat mengalami benturan karena wanita tak mau diatur dengan alasan bahwa hak mereka sama. Antar keduanya mempunyai batasan untuk tidak mengganggu satu sama lain.
Dalam Al-Qur-an dijelaskan bahwa:
ﺍﻠﺮﱢﺠﻝ قوّامون على النّساء بما فضّل اللّه بعضهم على بعضٍ وبما أنفقوا من أموالهم
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena menginfakkan harta mereka”.
Dan juga sabda Rosulullah, “Jika seorang istri itu telah menunaikan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatan, dan taat kepada suaminya, maka akan dipersilahkan kepadanya: masuklah ke surga dari pintu mana yang kamu suka.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani, Al-Albani menyatakan keshahihannya)
Dari kedua dalil diatas (QS. An Nissa: 34 dan HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani) terlihat bahwa laki-laki adalah imam atau pemimpin bagi wanita. Dalam dalil yang pertama disebutkan bahwa Allah melebihkan laki-laki atas kaum wanita. Kelebihan tersebut misalnya stamina, berpikir logis, sikap, kebijaksanaan, kekuatan dan lain-lain. Serta yang laki-laki berkewajiban menafkahi wanita (istri). Meskipun tidak semua laki-laki mempunyai sifat-sifat tersebut, hal-hal itulah yang membedakan wanita dengan laki-laki. Pada kenyataannya wanita pun sebaliknya, mereka juga bisa memiliki sifat seperti laki-laki. Misalnya kekuatan, yaitu seorang wanita yang berprofesi sebagai kuli. Pada dasarnya sifat dasar yang dimiliki wanita adalah lemah lembut, mengasihi dan kasih sayang.
Menurut Imam Qurtubi, lafadz “Qawwamuna” mempunyai arti melakukan sesuatu dan bertanggungjawab terhadapnyadengan cara meneliti dan menjaganya dengan sesunggunya. Ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki adalah sosok yang mengayomi dan memahami.
Sedang dari dalil kedua dapat diketahui bahwa ketika seorang wanita belum berkeluarga ia wajib berbakti kepada orang tuanya, tetapi ketika ia telah berkeluarga kewajibannya berbakti pada orangtua berpindah pada suami. Sehinnga letak surga bagi seorang istri tergantung dari seberapa baktinya pada suami. Karena tanggungan laki-laki sebagai pemimpin sangat besar. Bahkan jika istri tidak paham mengenai haid maka ia wajib mengajari istrinya. Tetapi jika laki-laki itu tidak tahu ilmunya maka wajib ‘ain baginya untuk belajar.
Dari pemaparan diatas, wanita boleh saja memiliki kedudukan tinggi dalam pekerjaan, melakukan hal yang sama dengan laki-laki namun harus juga diingat ia mempunyai kodrat sebagai istri yang wajib melayani dan tawadhuk pada suami serta tanggungjawab sebagai ibu untuk mendidik anak-anaknya. Emansipasi bukan hanya sekdar menyamakan derajat wanita dengan laki-laki, tapi wanita juga harus menyadari bahwa ketika dalam keluarga kita adalah pendorong, penyemangat, peneduh dan rakyat bagi suami


Emansipasi adalah hal yang tidak bisa lepas dari sosok R.A. Kartini. Kartini kecil hanya diperbolehkan mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar. Ia sangat suka dengan pengetahuan, sehingga ia terus membaca dan menulis bersama teman perempuannya. Selain itu ia juga belajar bahasa Balanda. Dari bacaan-bacaan yang diperoleh terlintaslah dipikiran Kartini muda untuk memajukan wanita-wanita Indonesia. Ia pun menulis surat untuk teman di Belanda. Kartini muda yang dibesarkan dari seorang priayi Jepara merasa bertanggungjawab atas nasib kaum wanita pada saat itu. Dimana pada saat itu wanita dipandang hanya sebelah mata. Dipandang bahwa derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Mereka dibelenggu untuk tidak diperbolehkan mengeyam pendidikan, berpendapat, berorganisasi dan bekerja. Para wanita hanya diperbolehkan untuk 3M (masak, macak dan manak). Hal yang sangat bertentangan dengan kecintaan Kartini pada pengetahuan itu membuat Kartini geram, sehingga ia mendirikan sekolah untuk gadis-gadis Jepara disekitarnya. Perjuangannya pun tidak sampai disitu, ketika ia menjadi istri Raden Adipati Ario Sosroningrat, M.A Ngasirah ia mendirikan sekolah di Semarang pada tahun 1912, kemudian belanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Setelah meninggalnya beliau, muncullah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang merupakan pembukuan dari surat-menyurat antara Mr. J.H Abendanon dan Ra. Kartini. Isi buku tersebut mengilhami para pembaca bahwa saat itu mereka tengah dibelenggu dalam kebodohan, atas keberanian dan perjuangan yang tulus menggugah kaumnya untuk keluar dari belenggu diskriminasi. Hasil perjuanganngan Kartini sangat terasa pada saat ini. Dibuktikan dengan di segala lini pekerjaan terlihat wanita yang ikut bekerja. Baik sebagai faktor pendorong maupun ikut terjun langsung. Lihat saja berapa wanita Indonesia saat ini yang bekerja atau berkegiatan seperti laki-laki. Contohnya saja ada yang menjadi sopir, kuli, pemain futsal, pekerja kantoran, militer dan lain-lain. Sebagian dari mereka melakukan pekerjaan tersebut karena tuntutan ekonomi yang mengharuskan mereka mencari rizki dengan jalan seperti itu. Tapi ada pula yang menganggap itu sebagai bentuk kebebasan untuk menyamai derajat laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari sering terlihat bahwa ketika seorang wanita yang memiliki kedudukan lebih tinggi cenderung meremehkan laki-laki. Mereka menganggap bahwa mereka bisa hidup tanpa laki-laki. Mereka tidak mau menuruti kehendak laki-laki yang mereka anggap sebagai bentuk pengekangan. Mereka lupa akan kodratnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ketika mereka berkeluarga, cenderung lebih cepat mengalami benturan karena wanita tak mau diatur dengan alasan bahwa hak mereka sama. Antar keduanya mempunyai batasan untuk tidak mengganggu satu sama lain. Dalam Al-Qur-an dijelaskan bahwa: ﺍﻠﺮﱢﺠﻝ قوّامون على النّساء بما فضّل اللّه بعضهم على بعضٍ وبما أنفقوا من أموالهم “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena menginfakkan harta mereka”. Dan juga sabda Rosulullah, “Jika seorang istri itu telah menunaikan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatan, dan taat kepada suaminya, maka akan dipersilahkan kepadanya: masuklah ke surga dari pintu mana yang kamu suka.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani, Al-Albani menyatakan keshahihannya) Dari kedua dalil diatas (QS. An Nissa: 34 dan HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani) terlihat bahwa laki-laki adalah imam atau pemimpin bagi wanita. Dalam dalil yang pertama disebutkan bahwa Allah melebihkan laki-laki atas kaum wanita. Kelebihan tersebut misalnya stamina, berpikir logis, sikap, kebijaksanaan, kekuatan dan lain-lain. Serta yang laki-laki berkewajiban menafkahi wanita (istri). Meskipun tidak semua laki-laki mempunyai sifat-sifat tersebut, hal-hal itulah yang membedakan wanita dengan laki-laki. Pada kenyataannya wanita pun sebaliknya, mereka juga bisa memiliki sifat seperti laki-laki. Misalnya kekuatan, yaitu seorang wanita yang berprofesi sebagai kuli. Pada dasarnya sifat dasar yang dimiliki wanita adalah lemah lembut, mengasihi dan kasih sayang. Menurut Imam Qurtubi, lafadz “Qawwamuna” mempunyai arti melakukan sesuatu dan bertanggungjawab terhadapnyadengan cara meneliti dan menjaganya dengan sesunggunya. Ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki adalah sosok yang mengayomi dan memahami. Sedang dari dalil kedua dapat diketahui bahwa ketika seorang wanita belum berkeluarga ia wajib berbakti kepada orang tuanya, tetapi ketika ia telah berkeluarga kewajibannya berbakti pada orangtua berpindah pada suami. Sehinnga letak surga bagi seorang istri tergantung dari seberapa baktinya pada suami. Karena tanggungan laki-laki sebagai pemimpin sangat besar. Bahkan jika istri tidak paham mengenai haid maka ia wajib mengajari istrinya. Tetapi jika laki-laki itu tidak tahu ilmunya maka wajib ‘ain baginya untuk belajar. Dari pemaparan diatas, wanita boleh saja memiliki kedudukan tinggi dalam pekerjaan, melakukan hal yang sama dengan laki-laki namun harus juga diingat ia mempunyai kodrat sebagai istri yang wajib melayani dan tawadhuk pada suami serta tanggungjawab sebagai ibu untuk mendidik anak-anaknya. Emansipasi bukan hanya sekdar menyamakan derajat wanita dengan laki-laki, tapi wanita juga harus menyadari bahwa ketika dalam keluarga kita adalah pendorong, penyemangat, peneduh dan rakyat bagi suami

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/thufiullailatul/emansipasi-dan-kodrat-istri_5600eac11497735405f798f6vv
Emansipasi adalah hal yang tidak bisa lepas dari sosok R.A. Kartini. Kartini kecil hanya diperbolehkan mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar. Ia sangat suka dengan pengetahuan, sehingga ia terus membaca dan menulis bersama teman perempuannya. Selain itu ia juga belajar bahasa Balanda. Dari bacaan-bacaan yang diperoleh terlintaslah dipikiran Kartini muda untuk memajukan wanita-wanita Indonesia. Ia pun menulis surat untuk teman di Belanda. Kartini muda yang dibesarkan dari seorang priayi Jepara merasa bertanggungjawab atas nasib kaum wanita pada saat itu. Dimana pada saat itu wanita dipandang hanya sebelah mata. Dipandang bahwa derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Mereka dibelenggu untuk tidak diperbolehkan mengeyam pendidikan, berpendapat, berorganisasi dan bekerja. Para wanita hanya diperbolehkan untuk 3M (masak, macak dan manak). Hal yang sangat bertentangan dengan kecintaan Kartini pada pengetahuan itu membuat Kartini geram, sehingga ia mendirikan sekolah untuk gadis-gadis Jepara disekitarnya. Perjuangannya pun tidak sampai disitu, ketika ia menjadi istri Raden Adipati Ario Sosroningrat, M.A Ngasirah ia mendirikan sekolah di Semarang pada tahun 1912, kemudian belanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Setelah meninggalnya beliau, muncullah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang merupakan pembukuan dari surat-menyurat antara Mr. J.H Abendanon dan Ra. Kartini. Isi buku tersebut mengilhami para pembaca bahwa saat itu mereka tengah dibelenggu dalam kebodohan, atas keberanian dan perjuangan yang tulus menggugah kaumnya untuk keluar dari belenggu diskriminasi. Hasil perjuanganngan Kartini sangat terasa pada saat ini. Dibuktikan dengan di segala lini pekerjaan terlihat wanita yang ikut bekerja. Baik sebagai faktor pendorong maupun ikut terjun langsung. Lihat saja berapa wanita Indonesia saat ini yang bekerja atau berkegiatan seperti laki-laki. Contohnya saja ada yang menjadi sopir, kuli, pemain futsal, pekerja kantoran, militer dan lain-lain. Sebagian dari mereka melakukan pekerjaan tersebut karena tuntutan ekonomi yang mengharuskan mereka mencari rizki dengan jalan seperti itu. Tapi ada pula yang menganggap itu sebagai bentuk kebebasan untuk menyamai derajat laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari sering terlihat bahwa ketika seorang wanita yang memiliki kedudukan lebih tinggi cenderung meremehkan laki-laki. Mereka menganggap bahwa mereka bisa hidup tanpa laki-laki. Mereka tidak mau menuruti kehendak laki-laki yang mereka anggap sebagai bentuk pengekangan. Mereka lupa akan kodratnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ketika mereka berkeluarga, cenderung lebih cepat mengalami benturan karena wanita tak mau diatur dengan alasan bahwa hak mereka sama. Antar keduanya mempunyai batasan untuk tidak mengganggu satu sama lain. Dalam Al-Qur-an dijelaskan bahwa: ﺍﻠﺮﱢﺠﻝ قوّامون على النّساء بما فضّل اللّه بعضهم على بعضٍ وبما أنفقوا من أموالهم “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena menginfakkan harta mereka”. Dan juga sabda Rosulullah, “Jika seorang istri itu telah menunaikan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatan, dan taat kepada suaminya, maka akan dipersilahkan kepadanya: masuklah ke surga dari pintu mana yang kamu suka.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani, Al-Albani menyatakan keshahihannya) Dari kedua dalil diatas (QS. An Nissa: 34 dan HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani) terlihat bahwa laki-laki adalah imam atau pemimpin bagi wanita. Dalam dalil yang pertama disebutkan bahwa Allah melebihkan laki-laki atas kaum wanita. Kelebihan tersebut misalnya stamina, berpikir logis, sikap, kebijaksanaan, kekuatan dan lain-lain. Serta yang laki-laki berkewajiban menafkahi wanita (istri). Meskipun tidak semua laki-laki mempunyai sifat-sifat tersebut, hal-hal itulah yang membedakan wanita dengan laki-laki. Pada kenyataannya wanita pun sebaliknya, mereka juga bisa memiliki sifat seperti laki-laki. Misalnya kekuatan, yaitu seorang wanita yang berprofesi sebagai kuli. Pada dasarnya sifat dasar yang dimiliki wanita adalah lemah lembut, mengasihi dan kasih sayang. Menurut Imam Qurtubi, lafadz “Qawwamuna” mempunyai arti melakukan sesuatu dan bertanggungjawab terhadapnyadengan cara meneliti dan menjaganya dengan sesunggunya. Ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki adalah sosok yang mengayomi dan memahami. Sedang dari dalil kedua dapat diketahui bahwa ketika seorang wanita belum berkeluarga ia wajib berbakti kepada orang tuanya, tetapi ketika ia telah berkeluarga kewajibannya berbakti pada orangtua berpindah pada suami. Sehinnga letak surga bagi seorang istri tergantung dari seberapa baktinya pada suami. Karena tanggungan laki-laki sebagai pemimpin sangat besar. Bahkan jika istri tidak paham mengenai haid maka ia wajib mengajari istrinya. Tetapi jika laki-laki itu tidak tahu ilmunya maka wajib ‘ain baginya untuk belajar. Dari pemaparan diatas, wanita boleh saja memiliki kedudukan tinggi dalam pekerjaan, melakukan hal yang sama dengan laki-laki namun harus juga diingat ia mempunyai kodrat sebagai istri yang wajib melayani dan tawadhuk pada suami serta tanggungjawab sebagai ibu untuk mendidik anak-anaknya. Emansipasi bukan hanya sekdar menyamakan derajat wanita dengan laki-laki, tapi wanita juga harus menyadari bahwa ketika dalam keluarga kita adalah pendorong, penyemangat, peneduh dan rakyat bagi suami. Thufiul Lailatul /thufiullailatul Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015. Selengkapnya... Share Memuat... 0 Memuat... KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/thufiullailatul/emansipasi-dan-kodrat-istri_5600eac11497735405f798f6

Komentar

Postingan Populer